Sambungan.. Umair bin Sa'ad..Sahabat Rasulullah..

لَكَمْ وَدِدْتُ أَنَّ لِيْ رِجَالًا مِثْلَ عُمَيْرِ بْنِ سَعْدِ لَأَسْتَعِيْنَ بِهِمْ فِيْ أَعْمَالِ الْمُسْلِمِيْنَ

“Sungguh aku sering berharap mempunyai orang-orang yang seperti ‘Umair bin Sa’ad untuk aku minta bantuannya melakukan kerja-kerja umat Islam”.

(Umar ibnul Khoththob)

B

eberapa waktu yang lalu kita sudah selesai menelusuri sebuah kisah yang sangat menganggumkan dari kehidupan seorang sahabat yang mulia ‘Umair bin Sa’ad dimasa kecilnya. Sekarang mari kita telusuri kisah lainnya dari perjalanan hidupnya ketika dewasa. Anda akan melihat bahwa kisahnya yang kedua ini tidak kalah menarik dan mengagumkan dari kisahnya yang pertama.

Masyarakat Himsh (sebuah kota di Suriah antara Damaskus dan Halab. Di koata itu Kholid bin Walid-Rodhiyallohu ‘anhu- di makamkan) adalah masyarakat yang sangat berani mengkritik para pemimpin (gabenor) mereka dan sering mengeluh atas kerja mereka. Tidak ada satupun gabenor yang memimpin mereka melainkan mereka dapatkan kekurangannya yang banyak dalam kepemimpinannya. Bahkan mereka mencatat dosa-dosa yang pernah dilakukan oleh para gabenor yang kemudian mereka adukan kepada Kholifah menggantikan gabenor mereka dengan orang yang lebih baik..

Maka ‘Umar Al Faruq berazam (bertekad) untuk mengutus seseorang yang akan menjadi gabenor bagi mereka yang mereka tidak akan menemukan lagi aib dan kekurangan dalam keperibadiannya. Umar mengumpulkan beberapa nama orang-orang yang kemudian memilih-milihnya menjadi satu persatu. Dan ia tidak menemukan orang yang lebih baik dari ‘Umair bin Sa’ad.

Sekalipun ‘Umair ketika itu sedang berada di tanah jazirah yang berada diwilayah Syam sebagai panglima pasukannya yang tengah berperang dijalan Alloh, membebaskan kota-kota, menghancurkan benteng-benteng musuh , menaklukkan kabilah-kabilah dan mendirikan masjid-masjid di setiap daerah yang di taklukki, Amirul Mu’minin Umar ibnul Khoththob tetap memanggil ‘Umair bin Sa’ad dan memberikan mandat kepadanya untuk menjadi gabenor di Himsh. Umar memerintahkannya untuk pergi menuju Himsh. ‘Umair menerima keputusa itu dengan sedikit rasa kecewa karena baginya tidak ada yang ia anggap lebih utama daripada jihad dijalan Alloh.

‘Umair sampai di Himsh. Ia memanggil masyarakat yang tinggal disana untuk melaksanakan sholat berjama’ah. Setelah selesai sholat ia berpidato di hadapan mereka. Ia awali dengan memuji Alloh and berselawat kepada Rosululloh saw., kemudian ia berkata, “wahai sekalian manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng yang kuat dan kokoh. Benteng Islam adalah keadilan dan pintunya adalah kebenaran. Jika benteng dihancurkan dan pintu dirosakkan., maka batas agama ini akan dilanggar. Sesungguhnya Islam itu akan kuat selama orang yang menjadi penguasa itu kuat dan kuatnya penguasa bukan dengan kuatnya cambuk,bukan juga dengan pedang yang digunakan untu membunuh, tetapi kuatnya penguasa adalah dengan menerapkan hukum yang adil dan membela kebenaran.”

Kemudian ia mulai bekerja untuk merealisasikan program yang telah ia canangkan dalam pidato singkatnya.

Setahun sudah ‘Umair tinggal di Himsh. Selama itu tidak ada satupun surat yang dilayangkan kepada ‘Amirul Mu’minin dan tidak satu dirham atau dinarpun dari harata fa’i yang dikirim ke baitul maal. Maka rasa khawatir mulai masuk kedalam hati Umar, karena ia adalah orang yang sangat takut kalau ada sekiranya dari para gabenornya yang tergoda oleh fitnah kekuasaan.

Baginya tidak ada yang ma’shum selain Rosululloh saw. Untuk itu ia berkata kepada sekretarisnya, “tulislah surat untuk ‘Umair bin Sa’ad dan katakan padanya, ‘jika surat ‘Amirul Mu’minin telah sampai kepadamu, maka tinggalkanlah Himsh, menghadaplah kepadanya dan bawalah bersamamu harta fa’i yang telah kamu tarik dari masyarakat.”

‘Umair bin Sa’ad menerima surat Umar. Ia langsung mengambil tempat makanannya, membawa wadah yang biasa ia gunakan untuk makan di pundaknya, membawa bejana yang ia gunakan untuk berwudhu, dan memegang tas perbekalannya dengan tangannya. Ia tinggalkan Himsh dan kekuasaannya. Ia pergi menuju Madinah dengan berjalan kaki. Sesampainya ia di Madinah, berubahlah warna kulitnya. Tubuhnya menjadi kurus. Rambutnya memanjang dan tampak darinya bekas-bekas keletihan dan kesulitan ketika dalam perjalanan.

‘Umair masuk menemui ‘Amirul Mu’minin, Umar ibnul Khoththob. Umar yang bergelar Al Faruq sangat terkejut melihat keadaannya. Ia bertanya, kenapa dengan engkau wahai ‘Umair?”

‘Umair menjawab, “Tidak ada yang terjadi dengan diriku wahai ‘Amirul Mu’minin. Alhamdulillah, aku sehat wal ‘afiat. Aku membawa seluruh dunia dan aku menariknya dari kedua tandukku” (maksudnya kekuasaan).

Umar bertanya, “apa yang engkau bawa dari dunia?” (ia menyangka bahwa ‘Umair membawa harta yang akan diserahkan ke baitul maal).

Ia menjawab, “yang ada padaku adalah tempat makananku. Di dalamnya kuletakkan perbekalanku. Aku membawa wadah untuk makan, untuk membasuh kepala, dan mencuci pakaian. Aku juga membawa gelas yang aku gunakan untuk berwudhu dan minum. Wahai ‘Amirul mu’minin sesungguhnya seluruh harta dunia ini mengikuti barang-barangku ini dan merupakan harta yang tidak aku perlukandan juga orang lain tidak memerlukannya.”

Umar bertanya, “apakah engakau datang dengan berjalan kaki”, “ya”, jawab ‘Umair.

Apakah engkau tidak diberi haiwan tunggangan yang bisa engkau naiki oleh kekuasaan?” Tanya umar.

‘Umair menjawab, “mereka tidak memberikannya kepadaku dan akupun tidak memintanya kepada mereka.”

“Apa yang engkau bawa untuk baitul maal” Tanya Umar.

“aku tidak membawa apa-apa untuk baitul maal,” jawab ‘Umair

“kenapa”

“Ketika aku sampai di Himsh, aku kumpulkan orang-orang sholih dari masyarakat yang tinggal disana. Aku beri mandat kepada mereka untuk mengumpulkan harta fa’i. ketika mereka telah mengumpulkan harata ‘fa’i, aku ajak mereka bermusyawarah untuk membahas harta tersebut. Aku letakkan harta-harta tersebut di pos-posnya dan aku berikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya dari kalangan mereka.”

Mendengar itu ‘Umar langsung berkata kepada sekretarisnya, “perbaharuilah mandat tugas sebagai gabenor Himsh untuk ‘Umair!”.

‘Umair berkata, “tidak mungkin!, itu adalah sesuatu yang tidak aku inginkan. Aku tidak akan bekerja lagi untuk engkau dan juga kholifah sesudah engkau, wahai ‘Amirul Mu’minin.”

Kemudian ia meminta izin kepada Umar untuk pergi ke sebuah kampung di pinggiran Madinah dan akan tinggal disana bersama keluarganya. Maka Umar mengizinkannya.

Belum lama berlalu setelah kepergian ‘Umair ke kampung yang ia tuju, muncul dalam hati Umar keinginan untuk menguji sahabatnya itu dan melihat kebenarannya. Maka ia berkata kepada salah seorang kepercayaannya yang dikenal dengan nama Harits, “pergilah engkau wahai Harits, ke rumah ‘Umair bin Sa’ad dan singgahlah seakan-akan engkau seorang tamu. Jika engaku melihat ada bekas-bekas nikmat yang terdapat pada dirinya, kembalilah sebagaimana engkau datang. Dan jika engaku melihat keadaanya yang sangat menderita, berikanlah dinar-dinar ini kepadanya.” Umar memberikan satu kantong wang berisi seratus dinar.

Harits akhirnya pergi menuju kampung tempat ‘Umair tinggal. Setibanya disana, ia menanyakan letak kediamannya kepada penduduk setempat. Ia diberi tahu dan setelah itu ia segera menuju rumahnya. Ketika bertemu dengan ‘Umair, Harits mengucapkan salam, “Assalamu’alaika wa rohmatulloh.”

‘Umair menjawab, “wa’alaikas salam wa rohmatulloh wa barokatuh. Berasal dari manakah engkau?”

Ia menjawab, “dari Madinah”

“Bagaimana keadaan umat Islam disana?” Tanya ‘Umair

“Mereka dalam keadaan baik, “ jawab Harits

“Bagaimana keadan ‘Amirul Mu’minin?”

“Ia dalam keadaan sehat dan sholih”

“Tidakkah ia menerapkan hukuman hudud?”, Tanya ‘Umair lagi.

“Ya, bahkan ia pernah menjatuhkan hukuman cambuk kepada anaknya yang berbuat fahisyah (keji).”

‘Umair berkata, “ya Alloh tolonglah Umar, karena sesungguhnya tidak ada yang aku ketahui tentang dirinya kecuali bahwasanya ia sangat mencintai-Mu.”

Harits tinggal di rumah ‘Umair bin Sa’ad selama tiga malam. Setiap malam ia selalu memberikan sepotong roti kepadanya. Pada hari ketiga, ada seorang penduduk yang berkata kepadanya, “engkau telah menyusahkan ‘Umair dan keluarganya. Mereka itu tidak memiliki apa selain sepotong roti yang mereka berikan kepadamu. Mereka mementingkan dirimu daripada diri mereka sendiri sehingga mereka kelaparan dan menjadi susah. Jika engkau mahu, pindahlah ketempatku….”

Ketika itulah Harits mengeluarkan beberapa wang dinar dan menyerahkannya kepada ‘Umair. ‘Umair bertanya, “apakah ini?”

Harits menjawab, “‘Amirul mu’mininin mengirimkan wang dinar ini kepada engkau.”

“Kembalikanlah wang ini dan sampaikan salamku padanya. Katakan padanya bahawa ‘Umair tidak memerlukannya.”

Ketika itu istri ‘Umair mendengar percakapan yang berlangsung antara suaminya dan tamunya. Maka, ia langsung berteriak dan berkata, “ambillah wang itu, wahai ‘Umair! Jika engaku memerlukannya, engkau bisa membelanjakannya, dan jika engaku tidak memerlukannya, engaku bisa menyalurkannya ke tempat penyalurannya. Disini masih banyak orang yang memerlukannya.”

Setelah mendengar perkataan istri ‘Umair, Harits langsung meletakkan wang dinar itu ke hadapan ‘Umair dan setelah itu ia langsung pergi. ‘Umair mengambil wang tersebut dan segera meletakkanya kedalam kantong-kantong kecil. Sebelum ia tidur pada malam itu, ia sudah membagi-bagikan wang tersebut kepada orang yang memerlukannya, terutama anak-anak yang orang tuanya syahid.

Harits kembali ke Madinah. Setibanya disana ia langsung ditanya oleh Umar, “apa yang engkau lihat wahai Harits?”

Harits menjawab, “keadan yang susah wahai ‘Amirul Mu’minin”

“Apakah engaku memberikannya wang dinar?” tanya Umar.

“ya” jawab Harits

“Apa yang ia lakukan dengan wang itu?”tanyanya lagi

“Aku tidak tahu. Mungkin ia tidak menyisakan satu dirhampun untuk dirinya.”

Maka Al Faruq mengirim surat kepada ‘Umair. Ia berkata, “jika engkau menerima suratku ini, jangan engaku letakkan dari tanganmu sampai engaku menghadap kepadaku.”

‘Umair bin Sa’ad pergi menuju Madinah. Setibanya disana ia langsung bertemu ‘Amirul Mu’minin. Umar menyambutnya dengan memberikan salam dan mempersilakannya duduk di dekatnya. Ia bertanya kepada ‘Umair, “apa yang engkau lakukan dengan wang dinar yang engkau dapat, wahai ‘Umair?”

‘Umair berkata, “apa kepentinganmu menanyakan wang itu setelah engkau keluarkan untukku wahai Umar?”

Umar menjawab, “aku hanya sangat menginginkan engaku menceritakan kepadaku apa yang engkau lakukan terhadap wang itu.”

‘Umair berkata, “aku menabung wang itu untukku agar aku bisa mengambil manfaatnya pada hari yang tidak berguna harta dan anak keturunan.”

Mendengar itu meneteslah air mata Umar. Lalu ia berkata, “aku bersakasi bahwa engaku adalah orang yang mmentingkan kepentingan orang lain daripada diri mereka sendiri sekalipun mereka sangat membutuhkan…”, kemudian Umarr memberikan satu wasaq makanan (60 sha’)dan dua helai pakaian.

‘Umair berkata, “wahai ‘Amirul Mu’minin makanan ini aku tidak membutuhkannya. Aku telah meninggalkan dua sha’ gandum untuk keluargaku. Ketika kami menghabiskannya, Alloh akan memberi kami rezeki lagi. Adapun dua helai pakaian ini, aku akan mengambilnya untuk ibunya anak-anak (istrinya) karena pakaiannya sudah usang bahkan hampir telanjang.

Tidak lama setelah perjumpaan yang terjadi antara Al Faruq dengan sahabatnya ini, Alloh I mengizinkan ‘Umair bin Sa’ad untuk bertemiu dengan Nabi-Nya dan penyejuk matanya, Muhammad bin Abdulloh saw setelah sekian lama ia merindukan perjumpaan dengannya. ‘Umair telah kembali ke negeri akhirat dengan jiwa yang tenang dan langkah yang pasti. Tidak ada beban dunia yang memberatkan pundaknya dan tidak ada tanggung jawab yang berat yang membebani punggungnya. Ia pergi hanya dengan cahayanya, hidayahnya, kewara’annya, dan ketaqwaannya.

Ketika berita kematiannya sampai kepada Umar, kesedihan menutupi wajahnya dan menggerus hatinya, ia berkata,

لَكَمْ وَدِدْتُ أَنَّ لِيْ رِجَالًا مِثْلَ عُمَيْرِ بْنِ سَعْدِ لَأَسْتَعِيْنَ بِهِمْ فِيْ أَعْمَالِ الْمُسْلِمِيْنَ

“Sungguh aku sering berharap mempunyai orang-orang yang seperti ‘Umair bin Sa’ad untuk aku minta bantuannya melakukan kerja-kerja umat Islam”.

Semoga Alloh meridhoi ‘Umair bin Sa’ad. Ia adalah sosok yang memiliki kepribadian unik diantara sahabat-sahabatnya. Ia adalah murid unggulan di madrasah Muhammad bin ‘Abdillah r.

[Shuwar min Hayatish Shohabah, Dr. Abdur Rohman Ro’fat Al Basya]


'Umair Bin Sa'ad,Pejuang Sejati

Ucapan 'Umair Bin Sa'ad ra..
Ibn sa'ad telah meriwayatkan khabar dari Sa'id bin Suwaid yg telah berkata,bahawa 'Umair bin Sa'ad tlh berkata,bahawa 'Umair Bin Sa'ad pernah berucap di atas mimbar,di ketika itu beliau merupakan seorg gabenor di Homs dgn katanya : "Ketahuilah,bahawa Islam itu adalah benteng perkasa, di masa yang sama sebagai pintu yg kemas . Benteng Islam ialah keadilan, sedang pintunya ialah kebenaran. Maka apabila teroboh benteng dan pintunya pula pecah,maka Islam sudah terdedah kepada kelemahan. Percayalah bahawa Islam masih gagah perkasa selagi kekuasaannya masih kuat . Kekuasaan yg kuat itu bukanlah penyembelihan dgn pedang2 atau herdik sebatan dgn cemeti2, ttp ianya adalah pemerintahan dgn kebenaran dan pelksanaan keadilan."


Subhanallah..walaupun ringkas ttp cukup bermakna bagi mereka yg melihat dgn hati,menilai dgn Iman..


"Umair bin Sa’ad adalah orang yang berkeperibadian unik”

Sejak kecil ‘Umair bin Sa’ad sudah merasakan kehidupan sebagai anak yang miskin. Ayahnya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya tanpa meninggalkan sedikitpun harta maupun bekal untuk melanjutkan hidup. Sampai suatu saat ibunya menikah dengan orang kaya dari suku Aus, bernama Julas bin Suwaid. ‘Umair akhirnya berada dalam naungan dan asuhannya.

Disisi Julas ia mendapatakan kebaikan, perhatian, dan kasih sayang yang besar sehingga ia tidak merasa bahwa dirinya adalah anak yatim. ‘Umair mencintai Julas sebagaimana seorang anak mencintai ayahnya, begitu pula Julas mencintai ‘Umair sebagaimana seorang ayah mencintai anaknya.

Bahkan kecintaannya kepada ‘Umair semakin bertambah seiring dengan masa pertumbuhannya hingga ia dewasa.

Ia begitu kagum dengan perkembangan ‘Umair, karena ia melihat pada diri anak itu tanda-tanda kecerdasan dan kepandaian yang tampak dalam setiap pekerjaan yang ia lakukan dan tanda-tanda pribadi yang jujur dan amanah, yang tampak dalam setiap tindak-tanduk perilakunya.

‘Umair bin Sa’ad masuk Islam sejak ia masih kecil, yakni ketika umurnya belum mencapai sepuluh tahun. Hatinya yang halus menyebabkan keimanan begitu mudah masuk dan mengakar kuat didalamya. Jiwanya yang bersih dan jernih bagaikan tanah subur, menyebabkan keislaman mudah bersatu dengan jiwanya dan menyerap dalam relung-relungnya.

Dalam usianya yang masih sangat muda, Umair tidak pernah tertinggal sholat berjama’ah di belakang Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam. Ibunya sangat bergembira setiap kali melihat ‘Umair pergi ke masjid ataupun pulang dari sana yang terkadang bersama suaminya dan terkadang berjalan sendiri.

Kehidupan ‘Umair bin Sa’ad kecil berjalan seperti itu, tenang dan tanpa gangguan. Tidak ada yang mengeruhkan perjalanan hidupnnya yang jernih dan tidak ada yang merusak ketenangannya. Sampai akhirnya, Alloh berkehendak memberikan satu pengalaman pahit baginya dan mengujinya dengan ujian yang sangat jarang menimpa remaja seusianya.

Pada tahun 9 hijriah, Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam mengumumkan rencananya untuk menyerang kerajaan Romawi, tepatnya di daerah Tabuk, untuk itu beliau memerintahkan umatnya untuk bersiap-siap dan mempersiapkan segalanya. Biasanya Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam jika ingin menyerang musuh, beliau tidak mempublikasikannya secara terbuka , melainkan hanya menjelaskan bahwa dirinya akan menuju ke satu arah yang sebenarnya bukan tujuan yang diinginkan.

Hal ini berbeza dengan perang Tabuk. Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam justru mengumumkannya kepada khalayak ramai, mengingat jauhnya jarak yang akan ditempuh,beratnya beban yang akan dipikul, dan kuatnya musuh yang akan dihadapi, agar mereka benar-benar memahami keadaan yang yang akan mereka lalui dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk itu.

Sekalipun musim panas baru mulai, suhu udara begitu panas korma mulai matang, masa berteduh telah tiba, dan setiap orang lebih suka bersenang-senang dan bersantai-santai serta bermalas-malasan. Akan tetapi umat Islam tetap datang memenuhi seruan Nabi mereka Sholallohu ‘alaihi wasalam, dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk berperang.

Walaupun begitu masih ada sekelompok orang munafikyang terus berusaha melemahkan semangat dan azam (tekad) untuk berperang dengan menyebarkan keraguan, menjelek-jelekkan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam dan melontarkan kata-kata kufur dalam pertemuan-pertemuan khusus mereka.

Suatu hari ditengah suasana persiapan untuk memberangkatkan pasukan, ‘Umair bin Sa’ad pulang ke rumah setelah melaksanakan sholat di masjid. Dalam pikirannya terekam semua gambaran yang menakjubkan tentang semangat umat Islam dalam berjihad dan berkorban seperti yang ia lihat sendiri dengan kedua matanya dan ia dengar dengan kedua telinganya. Ia telah melihat wanita-wanita dari kaum Muhajirin mendatangi Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam lalu mereka melepas semua perhiasan yang mereka kenakan dan menyerahkannya kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam untuk membiayai tentara yang akan berjuang dijalan Alloh.

Ia menyaksikan dengan matanya sendiri, Utsman bin ‘Affan –Rodhiyallohu ‘anhu- datang sambil membawa karung yang berisi 1.000 dinar emas yang kemudian ia berikan kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam. Ia juga melihat bagaimanaAbdurRohman bin ‘Auf –Rodhiyallohu ‘anhu- memikul 200 keping emas di pundaknya. Lalu diserahkan kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam. Bahkan ia melihat seorang lelaki yang menawarkan kasurnya untuk dijual agar ia bisa membeli sebuah pedang dan bisa ikut berperang dijalan Alloh.

‘Umair mengingat-ingat kembali pemandangannya yang sangat mengagumkan dan mengesankan itu. Setibanya dirumah, ia begitu terkejut melihat sikap santai Julas dalam mempersiapkan diri untuk ikut perang bersama Rosululloh r dan keterlambatannya dalam mengeluarkan infak, padahal ia adalah orang yang mampu dan berkecukupan. Umair tergerak utnuk mengobarkan semangat Julas dan membangkitkan rasa percaya dirinya.

Dengan semangat ia menceritakan pemandangan yang ia lihat dan cerita yang ia dengar, khususnya cerita tentang sekelompok orang beriman yang datang kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam seraya meminta agar mereka diikutsertakan dalam perang. Akan tetapi, Nabi Sholallohu ‘alaihi wasalam menolak permintaan mereka karena sudah tidak ada lagi kendaraan yang dapat mengantarkan mereka ke medan perang. akhirnya mereka pulang dengan bercucuran air mata karena sedih tidak memiliki harta yang dapat mewujudkan harapan mereka untuk dapat berjihad. Dan mengobati kerinduan mereka menggapai syahid.

Tidak ada reaksi dari Julas, malah yang keluar dari mulutnya adalah perkataan yang membuat seorang remaja yang beriman, bernama ‘Umair itu menjadi bingung. Ia mendengar Julas berkata, “jka pengakuan Muhammad itu memang benar bahwa dirinya adalah seorang Nabi, maka kita adalah lebih buruk daripada keledai.”

Mendengar itu ‘Umair sangat terkejut. Dia tidak mengira kalau seseorang yang berakal dan berumur matang seperti Julas bisa mengeluarkan perkataan seperti ini yang dapat mengeluarkan pelakunya dari keimanan secara langsung dan memasukkannya kedalam kekufuran dari pintunya yang sangat luas. Seperti sebuah alat penghitung (kalkulator) yang langsung memberikan jawaban atas masalah penghitungnya yang diminta, otak ‘Umair bin Sa’ad juga langsung berpikir apa yang mesti ia lakukan dalam menyikapi masalah ini.

‘Umair berpandangan bahwa mendiamkan Julas dan menyembunyikan masalah ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap Alloh dan Rosul-Nya serta bisa membahayakan Islam yang memang sudah dirongrong oleh orang-orang munafik dengan membawa makar. Sebaliknya ia juga berpandangan bahwa menceritakan apa yang ia dengar merupakan bentuk kedurhakaan terhadap seseorang yang yang telah ia anggap sebagai ayahnya sendiri dan ini berarti membalas kebaikan dengan keburukkan. Julaslah yang telah mengasuhnya ketika ia yatim, memenuhi segala keperluannya dan menggantikan posisi ayahnya yang telah wafat.

‘Umair harus memilih dua pilihan ini, pilihan yang baik tetap mengandung rasa pahit. Dengan cepat ia mengambil keputusan. Ia menengok kearah Julas dan berkata, “Demi Alloh wahai Julas, tidak ada di atas muka bumi ini yang lebih aku cintai setelah Muhammad Sholallohu ‘alaihi wasalam bin ‘Abdulloh daripada engkau. Engkau adalah orang yang paling kucintai dan paling besar jasanya kepadaku. Tetapi engkau telah mengucapkan sebuah perkataan yang kalau aku ceritakan berarti aku telah melecehakanmu dan kalau aku sembunyikan, berarti aku telah mengkhianati amanahku dan menghancurkan jiwaku serta agamaku. Sungguh aku telah bertekad untuk menemui Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam dan memberitahukan kepadanya tentang perkataan yang engkau ucapkan tadi. Pahamilah masalahmu dengan baik.”

Umair bin Sa’ad berjalan menuju masjid. Disana ia menceritakan kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wasalam tentang apa yang ia dengar dari mulut Julas bin Suwaid. Maka Rosululloh r menahan ‘Umair untuk tetap disisinya dan memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk memanggil Julas. Tidak berapa lama Julas datang dan mengucapkan salam kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam lalu duduk dihadapannya.

Rosululoh Sholallohu ‘alaihi wasalam bertanya kepada Julas, “perkataan apakah yang didengar oleh ‘Umair bin Sa’ad darimu?”

Nabi Sholallohu ‘alaihi wasalam menyebutkan apa yang dikatakan oleh ‘Umair. Julas berkata, “Dia telah berbohong atas diriku, wahai Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam. Aku sama sekali tidak pernah membuat pernyataan seperti itu.”

Para sahabat –Rodhiyallohu ‘anhum- yang hadir memandangi Julas dan ‘Umair secara bergantian, seakan-akan mereka ingin membaca raut wajah mereka berdua, apa sebenarnya yang ada di benak mereka berdua. Mereka mulai saling berbisik, salah seorang dari mereka yang di dalam hatinya ada penyakit berkata, “seorang anak yang durhaka. Dia hanya menyakiti orang yang telah berbuat baik kepadanya.”

Ada juga yang berkata, “sebaliknya ia adalah seorang anak yang tumbuh dalam ketaatan kepada Alloh. Dan sesungguhnya raut wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang jujur.”

Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam memandangi ‘Umair. Beliau melihat wajahnya memerah, air matanya bercucuran deras dari kedua matanya, dan mengalir jatuh ke pipi dan dadanya seraya berkata, “Ya Alloh turunkanlah kepada Nabi-Mu penjelasan tentang perkataan yang telah aku ucapkan……”

Julas langsung menimpali, “Wahai Rosululloh, sesungguhnya apa yang telah aku ceritakan adalah benar. Jika engkau mau aku akan bersumpah dihadapanmu. Aku bersumpah dengan nama Alloh bahwa sesungguhnya aku tidak pernah mengucapkan perkataan seperti yang di ceritakan ‘Umair kepadamu.”

Setelah Julas bersumpah, pandangan para sahabat beralih kepada ‘Umair bin Sa’ad, sampai akhirnya rasa tenang datang menyelimuti Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam. Para sahabat mengetahui bahwa itu adalah wahyu. Maka mereka tetap berada di posisinya masing-masing. Tubuh mereka tidak bergerak sedikitpun. Semuanya diam membisu dan pandangan mereka tertuju kepada Nabi Sholallohu ‘alaihi wasalam. Saat itulah rasa takut mulai meliputi Julas. Sebaliknya harapan dan optimis mulai tampak pada diri ‘Umair. Begitu juga halnya dengan para sahabat. Mereka menanti sebuah jawaban dengan penuh antusias.

Proses turunnya wahyu telah selesai. Keadaan Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam telah kembali seperti semula. Kemudian beliau membacakan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:

“Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Alloh, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan Perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Alloh dan Rosul-Nya), kecuali karena Alloh dan Rosul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Alloh akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi.” (At- Taubah:74)

Terkejutlah Julas mendengar beratnya ancaman yang ada dalam firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala tersebut. Karena rasa takutnya, lidahnya seakan menjadi kelu. Akhirnya ia menghadapkan wajahnya kepada Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam dan berkata, “aku bertobat wahai Rosululloh…, aku bertobat…, ‘Umair benar dan aku yang telah berbohong. Mohonkanlah kepada Alloh agar tobatku diterima. Aku siap mengorbankan diriku untukmu wahai Rosululloh.”
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam mendekati ‘Umair bin Sa’ad. Air mata kegembiraan membasahi wajahnya yang memancarkan sinar keIslaman. Dengan lembut Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wasalam memegang telinga ‘Umair seraya berkata, “Telingamu telah menepati apa yang telah didengar dan Robbmu yang telah membenarkannya.”
Julas kembali kepangkuan Islam dan keislamannya menjadi lebih baik. Para sahabat mengetahui kepribadiannya yang baik dari sikapnya yang sangat dermawan kepada ‘Umair. Setiap kali nama ‘Umair disebut ia selalu mengatakan, “Semoga Alloh membalasnya dengan kebaikan, ia telah menyelamatkan diriku dari kekufuran dan membebaskan diriku dari api neraka.”
Kisah ini bukanlah yang paling hebat dan menonjol dari perjalanan hidup seorang sahabat muda ‘Umair bin Sa’ad. Dalam perjalanan hidupnya, masih banyak lagi kisah-kisahnya yang lebih indah dan lebih berkesan.
Sampai jumpa lagi di kisah ‘Umair bin Sa’ad selanjutnya, yaitu Umair bin Sa’ad di masa dewasa.
[Shuwar min Hayatish Shohabah, Dr. Abdur Rohman Ro’fat Al Basya]